Negara Konvensional versus Negara Global, Perjuangan di Era Modern

Negara konvensional adalah prinsip dimana negara berpandangan bahwa rakyatlah yang membutuhkan negara. Paradigma ini masih dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia ini. Dalam konsep negara konvensional, warga negara kerap diposisikan hanya sebagai alat dari negaranya. Warga negara harus menjalankan tiap kewajibannya bagi negara  namun negara belum tentu membalas dengan memberikan hak mereka. Pelayanan negara pada warganya cenderung masih minim dan terpusat di kaum elitis dan konglomerat saja, tidak merata ke seluruh elemen masyarakat. Hal ini tentu merugikan warga negara yang lain karena merasa dianaktirikan oleh negaranya. Karena kesenjangan kesejahteraan tersebut, produktivitas warga pun cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan. Warga yang merasa tidak puas akan negaranya bahkan bisa saja beralih ke negara lain yang lebih menghargai dirinya sebagai pribadi yang potensial.

Dalam era dewasa ini, negara konvensional menghadapi “penjajahan” dari negara global. Negara global adalah negara yang berpandangan bahwa negaralah yang membutuhkan warganya. Negara global akan melakukan segala cara supaya warganya betah tinggal di negaranya. Contoh dari negara ini adalah beragam sosial media seperti Facebook, Path, Instagram, Twitter, dsb. Mereka berlomba-lomba memberikan fitur terbaru dan terhandal supaya semakin banyak warga yang singgah dan tinggal di negara mereka. Negara global memanjakan warganya dengan berbagai fasilitas yang mereka butuhkan. Semakin banyak warga yang mereka miliki, maka makin besarlah profit yang mereka dapatkan, itulah prinsip dari negara global. Pola pikir yang bertolak belakang dari negara konvensional inilah yang menjadikan negara global semacam “pesaing”. Lalu bagaimanakah negara konvensional menyikapinya sehingga mereka pun dapat berkembang?

Supaya negara konvensional dapat berkembang, diperlukan kesadaran dari pihak negara maupun pihak warganya. Negara perlu lebih mendengarkan aspirasi warganya dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan warganya. Sebisa mungkin negara mengakomodasi kebutuhan tiap elemen warga sehingga tidak ada warga yang merasa dianaktirikan. Apabila negara sudah mampu bersikap “adil” bagi warganya, seyogyanya kesenjangan sosial dapat ditekan sehingga warga dapat saling bekerja sama demi produktivitas bangsa. Pembangunan infrastruktur dan berbagai sarana prasarana pun harus digenjot sedemikian rupa sehingga meningkatkan efisensi kerja dan produktivitas. Sedangkan dari pihak warga sendiri, perlu diubah paradigmanya dari pelayan negara sebagai pembangun negara. Apabila negara berhasil memberikan pelayanan optimal sebagai haknya sebagai seorang warga, seyogyanya warga tersebut membalasnya dengan meningkatkan produktivitas dan kualitas dirinya. Seseorang yang berkualitas dan produktif cepat atau lambat tentu akan membawa negaranya ke era yang lebih maju dan sejahtera. Ayo kita kerja nyata!

Nomor Identitas Tunggal, Masalah atau Solusi ?

Sekarang kita mengenal banyak sekali nomor identitas dalam berbagai kartu identitas, misalnya KTP, SIM, KK, NPWP, Paspor, dll. Tiap kartu memiliki fungsinya sendiri dan memiliki nomor identitas sendiri, kecuali beberapa yang sudah terintegrasi seperti KTP dan KK. Begitu banyaknya kartu identitas di Indonesia inilah yang memicu terjadinya multi-identitas, yakni seseorang yang memiliki dua atau lebih nomor identitas. Kasus multi-identitas sering kita temui ketika tertangkapnya pelaku terorisme, biasanya si pelaku memiliki beberapa KTP sekaligus padahal orangnya hanya satu. Lalu adakah jalan keluarnya?

Sejak beberapa tahun lalu, di Indonesia kerap diserukan mengenai sebuah nomor identitas tunggal. Sebuah nomor unik yang merujuk pada identitas dari orang tertentu. Ide ini dilontarkan supaya proses pendataan warga dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Selain itu dengan nomor identitas tunggal diharapkan mengurangi kemungkinan seseorang dengan multi-identitas. Akan tetapi apakah masalah selesai dengan sebuah nomor identitas tunggal?

Dengan sebuah nomor identitas tunggal, dapat dengan mudah sebuah identitas disalahgunakan oleh orang lain hanya dengan mengetahui nomor identitasnya. Tindakan pencucian uang dapat dengan mudah dilakukan oleh pihak ketiga jika dia sudah mengetahui nomor identitas dari pihak pertama dan pihak kedua. Belum lagi kerumitan untuk menyinkronkan antara nomor yang lama dengan yang baru, tentu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Menurut saya pribadi, nomor identitas tunggal merupakan solusi yang ideal bagi Indonesia dengan sistem multi-kartu identitasnya. Kita sekarang sudah memiliki KTP, SIM, KK, NPWP, BPJS, Paspor, dsb. Selain mengurangi potensi dobel identitas, nomor identitas tunggal membuat semua kartu-kartu tersebut terintegrasi sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses berbagai fasilitas pemerintah maupun swasta. Mari berbenah menyambut hari jadi Indonesia ke-71.