Sebuah pemerintahan yang baik seyogyanya memiliki rencana kerja atau masterplan yang cerdas dan tepat guna. Salah satu master plan yang vital bagi pemerintahan adalah mengenai budgeting, alias anggara uang. Ya, uang. Benda yang dibutuhkan setiap elemen masyarakat dan kadang didewa-dewakan melebihi Tuhannya. Ketika bicara mengenai uang dan pemerintah, hal yang langsung terlintas di kepala saya dan mungkin anda mungkin sama, KORUPSI. Menurut tradingeconomics.com, peringkat korupsi Indonesia berada di nomor 88 dari 175 negara di dunia. Pemerintah sejak dulu mencoba sedemikian rupa untuk menurunkan tindakan korupsi dengan mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), namun apanyana masih ada saja elite-elite politik yang dengan enteng memakan uang rakyat.
Salah satu bidang yang cukup basah untuk dikorupsi adalah bidang pengadaan barang/jasa. Nilai tendernya biasanya mulai dari puluhan juta hingga miliaran. Siapa yang nggak ngiler dengan uang sebanyak itu? Lalu untuk mencegah korupsi di bidang pengadaan, pemerintah membentuk LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). LKPP hadir di Indonesia untuk menjunjung prinsip tranparansi dan akuntabilitas. Mereka pun mencetuskan ide e-procurement supaya transparasi dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa dapat dikawal oleh masyarakat umum lewat internet. Kerja LKPP dibantu oleh LPSE (Lembaga Pengadaan Secara Elektronik) yang bekerja pada setiap tingkat pemerintah dari pusat hingga ke daerah.
Itikad LKPP (dan LPSE) untuk memberantas korupsi terlihat jelas ketika 2015 lalu, LKPP bersama ICW (Indonesian Corruption Watch) dan IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) memperpanjang MoU pemantauan pengadaan barang/jasa di tiap tingkat pemerintahan. Implementasi pemantauan tersebut lahir menjadi website opentender.net yang dikelola oleh ICW berdasarkan data lapangan dari LKPP. Dengan mengakses website tersebut, masyarakat dapat menilai secara objektif mana kasus pengadaan yang dikorupsi atau tidak secara detail dan menyeluruh. (Ketika saya menulis ini website sedang down sehingga belum bisa memberikan screenshot).
Meninjau budgeting dari republik ini, perlu pula meninjau kesenjangan harga antara pusat pemerintahan (Jawa dan sekitarnya) dengan daerah marjinal (Sulawesi, Maluku, Papua, dan sekitarnya). Sering kita dengar bensin di papua mencapai puluhan ribu per liter meski Pertamina sudah menetapkan harganya. Kenapa begitu? Akses yang sulit, keterbatasan sumberdaya, transportasi pengangkutan yang mahal merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan harga antar daerah di Indonesia. Berikut perbandingan harga ISP fiber optik dengan kecepatan 1 Mbps di Purbalingga dan Sorong.
Bisa dilihat perbedaan harga cukup signifikan sekitar 1,2 juta rupiah. Hal ini merupakan salah satu pemicu organisasi-organisasi separatis di daerah marjinal. Dengan mengetahui perbedaan harga barang dan jasa antara daerah sentral dan daerah marjinal, seyogyanya kita bersyukur dan tidak jumawa akan kesejahteraan yang kita rasakan. LKPP dan LPSE telah berjuang memberikan transparansi dalam pengadaan berbagai barang dan jasa oleh pemerintah, marilah kita sebagai warga ikut proaktif mengawasi dan mengawal perjuangan mereka!!